JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memborong surat berharga negara (SBN) untuk ekspansi likuiditas. Memperkuat operasi moneter dalam stabilisasi nilai tukar rupiah.
Selama 2025 hingga 18 Maret, BI telah membeli SBN sebesar Rp70,74 triliun. Dengan rincian, melalui pasar sekunder senilai Rp47,31 triliun dan pasar primer dalam bentuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN), termasuk syariah, sebanyak Rp23,43 triliun.
”Kenapa kita perlu ekspansi likuiditas? Karena untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, kami perlu melakukan intervensi dengan jual devisa. Kalau jual divisa berarti rupiah kami sedot. Oleh karena itu, supaya rupiah kembali lagi ke sistem keuangan, kami beli SBN. Gitu ya, jangan gundah gulana,” jelas Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo usai rapat dewan gubernur di kantornya, Rabu (19/3).
Sebab, dengan pembelian SBN, BI tengah menyedot pasokan dolar Amerika Serikat (AS) alias USD. Untuk kemudian menyebarkan rupiah ke pasar keuangan sebagai likuiditas tambahan di sektor keuangan. Perry memastikan SBN sesuai dengan arah kebijakan moneter.
"Kami pastikan beli SBN itu sesuai dengan arah kebijakan moneter. Ya, arah kebijakan moneter yang memang kami perlu adalah ekspansi,” tegas Perry Warjiyo.
Dengan demikian, lanjut dia, pembelian SBN tidak hanya bertujuan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Tapi juga untuk mendukung kebijakan moneter yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja.
Berdasar asesmen BI, Perry menyampaikan, ketidakpastian global tetap tinggi akibat kebijakan tarif impor AS yang makin luas. Di AS, kebijakan tarif impor berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di tengah meningkatnya pemberian insentif fiskal. Sementara laju penurunan inflasi tidak secepat yang diprakirakan.
”Ekonomi Eropa, Jepang, dan India juga terkena dampak rambatan kebijakan tarif impor AS tersebut di tengah permintaan domestik yang belum meningkat akibat keyakinan usaha yang rendah dan ekspor yang melambat,” beber Perry Warjiyo.