Banjir Pasti Datang, tapi Dampaknya Bisa Dikendalikan

Minggu 19 Jan 2025 - 21:13 WIB
Reporter : Melida Rohlita
Editor : Syaiful Mahrum

BANDARLAMPUNG – Banjir yang melanda sejumlah daerah di Lampung, salah satunya sebagian wilayah Bandarlampung, mendapat sorotan dari Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum Itera Ir. Arif Rohman, S.T., M.T. Dosen Teknik Geomatika yang juga peneliti banjir ini menyatakan banjir di daerah perkotaan pasti datang, tetapi bisa dikendalikan. 

Arif mengatakan hampir setiap tahun masyarakat menghadapi fenomena yang berulang: hujan deras turun, sungai meluap, dan berbagai kawasan perkotaan kembali terendam. ’’Banjir seolah menjadi rutinitas tahunan yang tak terhindarkan. Namun yang sering dilupakan bahwa banjir bukan hanya peristiwa alam, tetapi juga hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan. Manusia bertanggung jawab atas perubahan lingkungan yang dapat memperparah banjir. Karena itu, kita harus berupaya mengelolanya secara lebih bijak,” katanya.

Menurut Arif Rohman, banjir adalah bagian dari siklus hidrologi yang alami. ’’Ketika curah hujan tinggi, air yang turun akan mencari jalannya sendiri, terutama ke daerah yang secara alami merupakan dataran banjir. Namun, urbanisasi yang pesat membuat air kehilangan tempat resapannya sehingga aliran permukaan meningkat drastis dan menyebabkan genangan. Alih-alih terus menyalahkan cuaca atau kondisi geografis. Pendekatan yang lebih tepat adalah memahami bahwa banjir pasti terjadi, tapi dampaknya bisa dikurangi. Hal ini telah menjadi kesepakatan dalam studi kebencanaan melalui pendekatan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction atau DRR),” ujarnya.

BACA JUGA:Lulusan Unila Harus Bisa Taklukkan Tantangan Zaman

Strategi DRR, kata Arif Rohman, dapat diterapkan melalui berbagai upaya mitigasi, seperti peningkatan kapasitas drainase, penerapan konsep kota spons (sponge city), dan optimalisasi lahan hijau sebagai daerah resapan. 

’’Sayangnya, banyak kota masih mengandalkan solusi jangka pendek, seperti pompa air dan peninggian tanggul. Sebenarnya hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Salah satu kesalahan terbesar dalam memahami banjir adalah menganggapnya sebagai masalah lokal semata. Padahal, kawasan yang tergenang banjir merupakan hasil dari perubahan tata guna lahan di tempat lain. Kita sering mendengar bahwa deforestasi di daerah hulu meningkatkan limpasan air ke daerah hilir, sehingga debit sungai meningkat dan memperbesar risiko banjir. Dengan prinsip yang sama, jika banjir terjadi di daerah Waylunik, Panjang, Bandarlampung, maka seharusnya kita dapat mengidentifikasi daerah mana saja yang berkontribusi besar dalam mengalirkan air ke sana,” beber Arif Rohman.

Salah satu konsep pengambilan keputusan untuk identifikasi wilayah yang dapat digunakan, kata Arif Rohman, adalah multi-criteria decision making (MDMC) melalui analisis spasial. ’’MDMC sering digunakan untuk menilai risiko banjir, menganalisis dampak penggunaan lahan, dan menentukan alokasi lahan. LEx-GM (Land Use Examination Global Model) adalah model yang kami kembangkan untuk menganalisis dampak penggunaan lahan dan menentukan alokasi lahan. Model ini berfungsi untuk memetakan pola perubahan tata guna lahan, memprediksi dampaknya terhadap hidrologi, dan mengidentifikasi area mana yang memiliki kontribusi signifikan terhadap peningkatan risiko banjir,” ungkapnya.

Dengan model pengambilan keputusan, kata Arif Rohman, dapat lebih berbasis bukti (evidence-based decision making). ’’Pemerintah dapat menentukan zona-zona yang perlu dilindungi, menetapkan kebijakan tata ruang yang lebih adaptif, dan mengembangkan strategi mitigasi yang lebih efektif. Selain itu, model ini juga bisa digunakan untuk mendukung konsep nature-based solutions (NBS). Yakni pendekatan mitigasi banjir yang memanfaatkan ekosistem alami seperti pembuatan ruang hijau perkotaan sebagai solusi berkelanjutan. Teknologi saat ini memungkinkan penerapan model banjir secara lebih akurat. Dengan pesawat nirawak atau drone, kita dapat menghasilkan model topografi yang sangat detail. Selain itu, smartphone yang kita miliki juga dapat digunakan untuk menerima informasi secara real-time, menampilkan zona rawan banjir, dan berfungsi sebagai alat bantu evakuasi,” katanya.

Banjir di perkotaan, kata Arif Rohman, bukan hanya masalah air yang meluap. ’’Tanpa kesadaran bahwa setiap wilayah saling berkaitan, kebijakan yang diambil akan tetap bersifat parsial dan tidak efektif serta hanya akan menjadi siklus reaktif yang tidak pernah tuntas. Coba kita gali kembali memori kita dan bertanya, sejak kapan banjir di Lampung terjadi? Kita membutuhkan pendekatan yang lebih sistemik, berbasis data, dan berorientasi pada mitigasi risiko. Bukan sekadar respons reaktif. Dengan memahami bahwa banjir pasti datang, kita harus memastikan bahwa dampaknya bisa dikurangi melalui perencanaan tata guna lahan yang lebih cerdas dan inovatif. Mitigasi banjir bukan lagi sekadar wacana, tapi benar-benar menjadi bagian dari kebijakan tata ruang yang berkelanjutan,” ungkapnya. (*)

 

Tags :
Kategori :

Terkait