Oleh: Muchamad Nabil Haroen, Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, anggota DPR RI 2019-2024, juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa
PILKADA serentak 2024 merupakan momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Dengan menyatukan seluruh pemilihan kepala daerah dalam satu waktu, sistem ini menawarkan efisiensi yang patut diapresiasi. Seperti penghematan anggaran negara dan pengawasan yang lebih terkoordinasi.
Namun, keunggulan ini tidak datang tanpa tantangan. Kompleksitas logistik, waktu persiapan yang singkat, hingga kualitas seleksi kandidat menjadi persoalan yang perlu perhatian serius.
Di tengah hiruk-pikuk politik lokal, beberapa provinsi dan kabupaten strategis muncul sebagai medan pertarungan yang “seksi,”. Dimana, kekuatan besar seperti PDI Perjuangan dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) atau KIM Plus saling berhadapan.
Pertarungan Strategis di Daerah “Seksi” Tidak semua daerah menjadi ajang pertarungan langsung antara PDI Perjuangan dan KIM. Polarisasi yang mencolok justru terlihat di wilayah-wilayah strategis. Seperti provinsi dan kabupaten dengan jumlah pemilih yang besar, sumber daya ekonomi yang signifikan, atau dinamika politik yang intens.
Di wilayah ini, narasi nasional sering kali diangkat oleh kandidat untuk meraih simpati publik. Kedekatan dengan elite politik nasional dijadikan “nilai jual,” meskipun ironisnya, narasi ini sering mengaburkan kebutuhan lokal yang lebih mendesak.
Polarisasi di daerah “seksi” ini memang menawarkan pilihan politik yang beragam, namun di sisi lain, kerap mendistorsi fokus utama Pilkada. Alih-alih memperdebatkan visi konkret untuk rakyat, diskursus politik justru terjebak pada simbolisme dan penguatan citra elite nasional. Hasilnya, pemilih lebih sering disuguhi perdebatan identitas politik ketimbang solusi nyata untuk permasalahan daerah.
Ironi Politik Anggaran: Tantangan bagi Cakada
Di tengah euforia demokrasi, pilkada serentak juga mengungkap kelemahan mendasar dalam kapasitas kandidat. Salah satu ironi terbesar adalah ketidakmampuan sebagian calon kepala daerah (cakada) untuk memahami politik anggaran. Padahal, penguasaan terhadap mekanisme fiskal adalah prasyarat utama untuk merealisasikan janji kampanye mereka.
Banyak kandidat yang tidak mampu menjelaskan strategi mereka dalam memanfaatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bahkan, beberapa cakada tampak terlalu bergantung pada pemerintah pusat tanpa inisiatif untuk membangun kemandirian fiskal daerah. Kondisi ini menunjukkan lemahnya seleksi dan pembekalan politik bagi kandidat, sekaligus mencerminkan kurangnya perhatian terhadap urgensi kepemimpinan yang berbasis kompetensi.
Komunikasi Publik yang Lemah: Jargon Mengaburkan Substansi
Di era demokrasi digital, kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu aspek krusial bagi kandidat untuk meraih kepercayaan publik. Sayangnya, banyak kandidat gagal memanfaatkan panggung Pilkada untuk menyampaikan gagasan mereka secara efektif.
Dalam berbagai debat publik, narasi yang disampaikan sering kali terjebak pada pengulangan jargon nasional atau pujian kepada elite politik, tanpa solusi konkret untuk persoalan lokal. Kegagalan dalam komunikasi publik ini tidak hanya merugikan kandidat itu sendiri, tetapi juga berdampak buruk pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.