JAKARTA - Sejumlah pelaku usaha lintas sektoral mendukung langkah pemerintah terlibat aktif dalam Perjanjian Plastik Global (Global Plastics Treaty) PBB sebagai solusi masalah polusi plastik. Kota Busan, Korea Setalan, kini tengah menggelar pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5) Perjanjian Plastik Global PBB, yang berlangsung 25 November hingga 1 Desember 2024.
Masalah sampah global, khususnya polusi plastik, memerlukan langkah mendesak. United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan bahwa setiap hari volume sampah plastik setara 2.000 truk sampah dibuang ke ekosistem perairan.
Setiap tahunnya, 19-23 juta ton sampah plastik ‘bocor’ mencemari danau, sungai, dan laut. Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa volume total bahan baku plastik di Indonesia pada 2021 mencapai 7.965 metrik ton di mana tingkat daur ulang (recycling rate) masih di kisaran 12% pada 2022.
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan untuk mengurangi sampah laut hingga 30% pada 2025 dan mengurangi sampah plastik laut hingga 70% pada 2025 melalui tindakan reduce-reuse-recycle (3R). Meskipun begitu, permasalahan sampah dan sampah plastik tetap menjadi masalah di berbagai daerah hingga hari ini.
Terkait mengurangan sampah plastik, Menteri Lingkungan Hidup RI Hanif Faisol Nurofiq telah bertemu dengan perwakilan Business Coalition for A Global Plastic Treaty (BCGPT) atau Koalisi Bisnis untuk Perjanjian Plastik Global di Indonesia pada rapat implementasi Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
BCGPT kembali mengingatkan bahwa perjanjian yang mengikat secara hukum dan mencakup siklus hidup produk plastik merupakan peluang terbaik untuk mengatasi krisis polusi plastik. INC-5 adalah momentum penting bagi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama menyepakati dan secara konsekuen menjalankan isi perjanjian.
Nurdiana Darus, director of sustainability and corporate affairs Unilever Indonesia, menyampaikan bahwa Perjanjian Plastik Global yang bersifat mengikat secara internasional merupakan jawaban atas masalah polusi plastik dunia selama ini. "Kita harus melangkah lebih dari sekedar upaya sukarela karena selama ini upaya-upaya tersebut belum menyelesaikan masalah," ujarnya.
’’Perjanjian tersebut penting untuk mengatur sejumlah restriksi, tercapainya tingkat produksi plastik yang berkelanjutan, serta perluasan tanggung jawab produsen atau Extended Producer Responsibility (EPR)," tambah Nurdiana.