Arifki menyebut bahwa sebagai pemenang Pemilihan Legislatif 2024, PDIP memiliki kekuatan dominan yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi oposisi yang kritis terhadap pemerintah.
“PDIP tentu memiliki bargaining politik, baik untuk masuk ke dalam pemerintahan baru maupun berada di luar kekuasaan. PDIP pernah teruji sebagai oposisi kritis di era pemerintahan SBY. Tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi lagi di era Prabowo jika PDIP memilih menjadi oposisi total,” jelas Arifki kepada wartawan, Jumat (27/9).
Arifki juga menambahkan bahwa di sisi lain, PDIP ingin menjaga basis pemilih yang kalah dalam Pilpres 2024. Sebagai partai oposisi, PDIP bisa memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan dukungan suara dari rakyat.
Namun, hal ini tidak sepenuhnya disepakati oleh seluruh kader PDIP. Beberapa kader PDIP melihat peluang untuk bergabung dengan pemerintahan Prabowo sebagai keputusan yang lebih baik.
Terlebih lagi, hubungan personal PDIP dengan Prabowo tidak menghadapi masalah, sehingga membuka kemungkinan bagi pertemuan antara Megawati dan Prabowo di pemerintahan.
Sejarah duet Mega-Pro dalam Pilpres 2009 juga disebut-sebut sebagai salah satu alasan kuat PDIP berpotensi bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Terkadang kita harus mengerti, Bu Mega memiliki caranya sendiri dalam menentukan sikap politik. Hal ini terlihat dalam berbagai keputusan politik di Pilkada 2024. Pilihan politiknya tidak hanya mengejutkan dunia politik, tetapi juga kader-kader PDIP sendiri,” tegas Arifki.
Sinyal untuk bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran sebelumnya juga diutarakan oleh Ketua DPP PDIP, Puan Maharani. Ia tidak menampik kemungkinan PDIP bergabung dengan pemerintahan terpilih.
“Insya Allah, tidak ada yang tidak mungkin (PDIP bergabung dengan pemerintahan Prabowo). Selalu ada komunikasi, sejak selesai pemilu kami terus berkomunikasi,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9). (ant/c1/abd)