Wacana Penghentian Dana APBN untuk LPDP Pro-Kontra, Apa Kata Netizen?
SAMBUTAN: Menko PMK Muhadjir Effendy pada acara pemberian santunan kepada korban gagal ginjal akut progresif atipikal pada anak di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (10/1).-FOTO DERY RIDWANSAH/ JAWAPOS.COM -
JAKARTA - Wacana penghentian sementara alokasi dana APBN ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mendapat banyak respons. Banyak yang pro, tetapi tak jarang pula yang kontra.
Bahkan ada juga yang beranggapan penghentian kucuran dana itu sama dengan penutupan program LPDP. Yang paling banyak disoroti netizen adalah penyaluran yang dinilai tak sesuai target. Belum lagi, banyak penerima beasiswa LPDP yang enggan kembali ke Tanah Air untuk mengabdi. Sementara itu, pihak yang kontra mengeluhkan kemungkinan dana pendidikan yang nantinya turun drastis.
Namun, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menegaskan wacana penghentian alokasi dana APBN untuk LPDP itu tidak terkait isu tersebut. Pertimbangan terbesarnya adalah jumlah dana abadi pendidikan yang dikelola LPDP saat ini dinilai cukup untuk membiayai sejumlah pendanaan seperti beasiswa dan riset. Jumlah dana abadi pendidikan yang dikelola LPDP kini mencapai Rp145,05 triliun.
”Jadi, tiap tahun pemerintah menyisihkan sebagian dana APBN fungsi pendidikan yang dimasukkan ke LPDP sebagai dana abadi pendidikan. Sekarang posisinya seperti yang saya sebutkan. Nah, dana yang disisihkan dari APBN itulah yang akan dihentikan,” ujar Muhadjir.
Artinya, pemberian beasiswa dan bea penelitian dari LPDP akan tetap berjalan. Tidak ada penghentian program. ”Dan, ini akan terus ditambah (jumlah penerimanya, Red),” sambungnya.
Lalu, ke mana anggaran yang akan distop tersebut disalurkan? Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) tersebut mengatakan, saat ini belum ada realokasi secara spesifik. Semuanya masih dikaji. Yang jelas, dana tersebut akan digunakan untuk peningkatan pendanaan sektor yang sangat urgen dan mendesak lainnya. Misalnya, riset dan pengembangan pendidikan perguruan tinggi.
”Sebetulnya yang juga mendesak adalah meningkatkan pendidikan dan pelatihan vokasi, mengacu pada Perpres Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi. Semua masih dikaji,” jelasnya.
Sebagai informasi, dana APBN fungsi pendidikan yang selama ini disisihkan untuk menambah dana LPDP setiap tahun sekitar Rp20 triliun. Dana tersebut dikelola LPDP agar keberlangsungan program pendidikan bisa terjamin. Apalagi sebagian program pendidikan seperti pendanaan beasiswa LPDP dan riset membutuhkan jaminan pendanaan yang berkesinambungan tiap tahun. Dengan skema pendanaan bersumber dari dana abadi, keberlangsungan program-program yang bersifat tahun jamak (multiyear) akan terjamin.
Terpisah, Direktur Beasiswa LPDP Dwi Larso enggan menanggapi opsi wacana tersebut. Menurut dia, wacana itu bukan menjadi kewenangan LPDP.
’’Kami no comment karena di luar kewenangan kami. Kami fokus melayani dalam pengembangan SDM, baik peningkatan jumlah maupun prioritas, demi mengejar ketertinggalan,’’ ujarnya.
Ketertinggalan yang dimaksud itu sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang baru-baru ini menyebut ingin penerima beasiswa LPDP bisa ditingkatkan hingga lima kali lipat dari saat ini.
Sejak dibuka pada medio 2009–2010 hingga saat ini, jumlah penerima beasiswa LPDP sudah naik tujuh kali lipat. Anggaran LPDP pun telah melonjak tajam dibandingkan awal didirikan. ’’Dana abadi LPDP pada saat dibuka Rp1 triliun, sekarang pada 2023 sudah mencapai Rp139 triliun,’’ ujar Jokowi dalam acara pembukaan Konvensi XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia (FRI), Senin (15/1).
Meski begitu, Jokowi ingin jumlah penerima beasiswa LPDP itu terus bertambah. Peningkatan tersebut diharapkan bisa menambah persentase rasio penduduk Indonesia yang memiliki pendidikan hingga S-2 dan S-3. ’’Saya kira perlu ditingkatkan (jumlah penerima beasiswa), paling tidak lima kali lipat dari yang sudah ada sekarang,’’ imbuh Jokowi.
Sebab, rasio penduduk berpendidikan S-2 dan S-3 terhadap populasi produktif masih sangat rendah bila dibandingkan Malaysia, Vietnam, serta negara maju lainnya. ’’Saya kaget dapat angka ini. Indonesia itu di angka 0,45 persen. Negara tetangga kita, Vietnam dan Malaysia, sudah di angka 2,43 persen. Negara maju sudah 9,8 persen, jadi jauh sekali,’’ katanya. (jpc/c1/ful)