Politik Uang Diprediksi Tetap Ada di Setiap Pilkada

Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja -FOTO IST -

MAKASSAR – Politik uang akan selalu ada dalam penyelenggaraan pemilu atau pilkada.
Hal tersebut diutarakan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, termasuk pada perhelatan Pilkada serentak 2024.

Rahmat Bagja bilang, hal terpenting saat ini apakah politik uang bisa direduksi atau tidak. "Politik uang pasti selalu ada. Permasalahannya bisa direduksi atau tidak? Sudah patroli, begitu selesai patroli dan panwascam kembali ke kantornya, terjadi lagi politik uang," ujar Bagja pada Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (27/6).

Menurutnya, pelanggaran politik uang masih bisa terjadi, sebab berkaca data tren putusan tindak pidana pemilihan secara nasional 2020. Berdasarkan pasal yang dilanggar pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tercatat ada puluhan kasus. Dia menyebutkan sebanyak 65 kasus kepala desa atau pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) melanggar pasal 188 karena melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan pasangan calon.

Berikutnya, 22 kasus melanggar pasal 187A ayat 1 yakni memberi dan atau menjanjikan uang dan atau materi lainnya. Ada juga 12 kasus melanggar pasal 178B memberikan suara lebih dari sekali di satu atau lebih TPS.

BACA JUGA:Kawal Proses Coklit, Abdullah Dahlan Minta Bawaslu Bandar Lampung Perketat Pengawasan

Kasus lainnya, 10 kasus melanggar pasal 187 ayat 3 yakni melanggar ketentuan kampanye.

Selain itu, delapan kasus melanggar pasal 187 ayat 2 ketentuan kampanye, kemudian tujuh kasus melanggar pasal 178A mengaku dirinya sebagai orang lain menggunakan hak pilih. Empat kasus melanggar pasal 185B yakni PPS, PPK, KPU provinsi, kabupaten kota tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi. Empat kasus melanggar pasal 185B yaitu PPS, PPK, KPU provinsi, kabupaten kota tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi serta empat kasus melanggar pasal 178C ayat 2 yakni menyuruh orang lain yang tidak berhak memilih memberikan suara di satu TPS atau lebih.

Empat kasus melanggar pasal 198A menghalang-halangi penyelenggara pemilihan dalam menjalankan tugas. Tiga kasus melanggar pasal 187A ayat 2 pemilih menerima imbalan atau janji, pasal 187A ayat 4 mengacaukan, menghalangi atau menggangu jalannya kampanye serta 19 kasus melanggar sejumlah pasal Undang-undang Pilkada.

"Kenapa panitia KPPS itu harus penduduk setempat, maksudnya untuk mengenal siapa yang akan dia pilih, siapa yang memilih pada saat itu. Inilah kemudian teman-teman KPU dan Bawaslu selektif memilih penyelenggara ad hoc di bawahnya, karena itu penting," kata dia.

BACA JUGA:Dinas Pertanian Tulangbawang Ingatkan Pengecer Jual Pupuk Subsidi Sesuai HET

Selanjutnya, untuk praktik politik uang dalam hal ini pemberi dan penerima pada Pemilu 2024 hanya pemberi yang dikenakan pidana, sedangkan penerima tidak.

Berbeda dengan pemilihan, pemberi dan penerima sama-sama dikenakan pidana sama halnya di hukum Islam. "Ini dua-duanya kena di pemilihan. Jadi, kemungkinan yang lapor ke Bawaslu itu semakin sedikit, yang mengaku menerima juga akan semakin sedikit, pasti yang mau mengaku makin sedikit, yakin itu. Karena kena pidana," tuturnya.

Pihaknya pun khawatir pelapor akan makin berkurang. Meski demikian tergantung bagaimana tim Bawaslu provinsi dan kabupaten kota mengawasi di lapangan saat proses tahapan Pilkada 2024.

Data jumlah penanganan pelanggaran pemilihan 2020 tercatat total 5.334 perkara di mana sebanyak 3.746 merupakan temuan dan 1.588 laporan. Tertinggi pelanggaran administrasi 1.532 kasus, pelanggaran etik 292 kasus, tindak pidana pemilihan 182 kasus, pelanggaran hukum lain tren dukungan ASN 1.570 kasus dan bukan pelanggaran 1.828.

Tag
Share