Sabtu, 23 Nov 2024
Network
Beranda
Berita Utama
Ekonomi Bisnis
Lampung Raya
Politika
Olahraga
Metropolis
Lainnya
Advertorial
Edisi Khusus
Iklan Baris
Sosok
Bursa Kerja
Arsitektur
Wisata dan Kuliner
Otomotif
Teknologi
Lifestyle
Kesehatan
Hobi
Kriminal
Pendidikan
Edisi Ramadan
Network
Beranda
Lainnya
Detail Artikel
Di Balik Air Terjun
Reporter:
Rizky Panchanov
|
Editor:
Rizky Panchanov
|
Jumat , 03 May 2024 - 21:43
-Ilustrasi Freepik-
di balik air terjun karya: luluk rohmatul ulya mama selalu heran melihatku basah kuyup tiap kali selesai main di belakang rumah. waktu itu usiaku lima tahun, tapi aku ingat dengan jelas kalau aku bertemu dengannya di sana. di belakang rumah sederhana peninggalan almarhum kakek dan nenek. aku masuk melalui celah-celah air, dan tahu-tahu, aku muncul dari lubang di akar sebuah pohon dengan pemandangan yang menakjubkan. mama terus bertanya-tanya, bagaimana bisa aku selalu basah kuyup tanpa mengeluarkan bau apapun. mengingat, tempat berisi air di belakang rumah hanyalah got dan kolam bekas ikan mujair kakek yang sudah lama tidak dikuras. bau kolamnya bahkan melampaui got. “kamu habis dari mana, sem?” baca juga: gaby mama begitu panik dan khawatir setelah aku melakukan siklus main-pulang-basah setiap hari. saat itu aku hanya menunjuk-nunjuk halaman belakang rumah sembari berkata, “mama nggak liat ada sungai dan air terjun di sana?” sebagai sosok ibu yang selalu berpikir rasional, mama terus menganggap aku hanya membual. air terjun dan sungai yang kubilang hanyalah imajinasi semata baginya. sampai suatu hari, aku berinisiatif untuk menyeret bukti nyata akan adanya air terjun di belakang rumah. dialah haru. anak laki-laki yang kutemui di balik air terjun. tubuhnya pucat, matanya agak sipit, dan rambutnya mirip duri landak. tapi haru selalu menolak ajakanku. dia terus-terusan berkata, “aku nggak bisa masuk ke duniamu, sem.” untuk ukuran anak kecil yang seumuran denganku, haru tampak lebih dewasa dengan kata-kata layaknya orang dewasa pula. pertama kali bertemu dengannya, dia sedang duduk-duduk di bawah pohon wisteria—pohon yang akarnya memunculkanku—sambil memandangi bunga merah muda di tangannya yang disebutnya tsubaki. pohon ini memiliki bunga berwarna ungu yang tumbuh menjuntai ke bawah seperti tirai. benar-benar cantik, batinku. pakaian haru jauh berbeda denganku yang saat itu memakai gaun rumahan bermotif polkadot warna merah. dia hanya memakai jubah lusuh dan celana yang tak kalah lusuhnya. satu hal lagi, tudung warna coklatnya yang sudah memudar dan berdebu. anak ini pasti sudah lama tidak mandi. “kamu sudah berapa hari nggak mandi?” kalimat pertama yang kutujukan alih-alih bertanya siapa namanya, sukses membuatnya menatapku aneh. “aku nggak butuh mandi, bisa hidup saja aku sudah senang,” tutur haru. “omong-omong, kamu siapa? pakaianmu aneh dan wajahmu asing. kamu pasti bukan orang sini.” “namaku semi. aku memang nggak berasal dari sini. tapi aku berasal dari sana,” aku menunjuk lubang pada akar pohon ini. “kenapa kamu bilang hidup saja sudah senang?” tanyaku polos. “dari akar? kamu lucu, sem,” mukaku memerah seketika. “mau dengar ceritaku? ini cukup panjang,” tawar anak itu. tentu aku langsung mengangguk antusias. “namaku haru kirisaki. belum lama ini, tuhan mengambil semua milikku. dahulu, aku punya keluarga yang amat bahagia. aku punya seorang adik perempuan kecil yang sangat imut. belum sempat dia diberi nama, rumahku hancur oleh amukan bumi. aku berlari ke segala arah dengan adik kecilku yang menangis dalam gendongan. saat itu aku sedang bermain bunga bersamanya, tapi tiba-tiba, angin berembus kencang sekali. pohon-pohon mulai tumbang dan rumah-rumah ringsek tak keruan. aku masih sangat kecil kala itu, jadi, gendonganku sangat lemah dan adikku terlepas begitu saja. “dalam kacaunya situasi, aku berlari dan berlindung di bawah pohon ini. beberapa saat kemudian, tsunami besar melanda tempat ini. ajaibnya, pohon ini tidak tumbang sama sekali dan tetap berdiri kokoh. aku selamat dari bencana maha dahsyat itu. sementara adikku, aku tak pernah tahu kabarnya,” haru tersenyum getir. “dia itu suka sekali bunga tsubaki yang mekar di musim semi. walau dia masih sangat kecil, dia sudah paham akan kecantikan bunga tersebut. dia selalu tersenyum tiap kali aku datang kepadanya dengan setangkai bunga tsubaki. karenanya, kuberi dia nama tsubaki kirisaki.” tak terasa, air mataku sudah banjir. aku begitu terbawa perasaan hingga menangis terisak-isak. tapi haru justru tertawa melihatku. anak aneh. setelah aku mendengar ceritanya, kami jadi semakin dekat dan akrab. aku yang berumur lima tahun dan masih baru tinggal di desa serta tak kunjung memiliki teman, memutuskan sepihak bahwa haru adalah teman pertamaku. aku jadi sering ke tempatnya. tempat tinggal haru jauh berbeda denganku. terkadang, muncul sesuatu berwarna putih dan dingin dari langit—yang langsung kutanyakan pada mama—, mama bilang, itu salju. tapi di antara semua musim di tempat tinggal haru, musim semi adalah yang paling kusukai. akan ada banyak bunga tsubaki, nanohana, dan pastinya sakura yang mekar di sana. aku sendiri tidak tahu pasti di mana rumah haru. dia lebih sering menghabiskan waktu di bawah pohon wisteria. jika musim semi tiba, aku selalu memaksa haru untuk menemaniku berkeliling. memutari ladang bunga musim semi tanpa peduli orang-orang yang melihatku selalu memunculkan tatapan aneh. hingga di usiaku yang menginjak tujuh tahun, aku masih rutin bertemu haru. tidak sesering dulu, memang. karena sekarang aku sudah memasuki sekolah dasar. mama juga jadi lebih ketat mengawasiku dalam bermain. saat mama lengah adalah waktu yang tepat pergi menemui haru. aku tidak punya teman lain selain haru, walaupun aku tahu, pertemananku dengan haru tidaklah normal. __ bulan mei ketiga di desa ini. tentu musim semi juga sudah tiba di tempat haru. dulunya, kami tinggal di kota. setelah kakek wafat menyusul nenek, rumah ini jadi kosong. mama lah yang berinisiatif mengajak keluarga pindah ke sini. papa mengalah, dia rela meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru di sini. aku sendiri, awalnya tidak betah di sini. sebelum aku bertemu haru. di hari pertamaku sekolah, aku berkenalan dengan damar. anak laki-laki berambut jegrak mirip haru. bedanya, haru imut-imut dan damar amit-amit. bedanya lagi, damar belum kudeklarasikan sebagai temanku. suatu ketika, kuajak damar menyelinap ke belakang rumahku. di hadapan kami, terpampang air terjun beserta sungai dengan aliran jernih sehingga menampakkan beberapa ikan cantik. mama masih di pasar, dan papa, seperti biasa masih bekerja. jadi, situasinya cukup aman. “hei, damar,” bisikku di telinganya. “kamu lihat air terjun di sana?” tunjukku dengan jari. “aku nggak lihat apa-apa,” damar menggaruk betisnya yang bentol. “pulang aja, yuk, sem. ngapain kita di kebon gini, sih? bisa-bisa aku habis digigit nyamuk.” bukan cuma mama dan papa, orang-orang tak ada yang bisa melihatnya. aku menyerah. haru dan dunianya, mungkin oleh takdir memang hanya ditujukan untukku. “pulanglah, damar.” __ sepulangnya damar, aku memutuskan untuk bertemu haru. masih dengan tas di punggung dan sepatu sekolah lengkap, kuterobos airnya. semua ini seperti mimpi, haha. aku langsung disambut dengan wajah tengil haru yang tertidur berbantalkan akar pohon. biar begitu, dia kelihatan agak ... manis. “dor!” haru masih merem. dor kedua, haru masih pulas. dor ketiga, aku menyerah. kuputuskan untuk duduk di sampingnya dan mengeluarkan isi tasku sambil menunggunya bangun. aku berniat menggambar pemandangan di hadapanku. tepat ketika gambarku selesai, haru akhirnya terbangun. “hei,” panggilnya. “aku nggak tidur, sebenarnya. cuma pura-pura.” aku haru yang membuatku kesal. “apa tujuanmu begitu, huh?” haru hanya geleng-geleng menanggapi dan sibuk menggeledah buku tulisku yang lain. “jadi, sekarang di tempatmu sudah tahun 2010?” haru tampak sangat takjub. aku mengangguk sambil memakan apel sisa bekal sekolahku. “memang di sini tahun berapa?” “aku sudah tak ingat sekarang tahun berapa. tapi aku ingat dengan jelas kalau bencana itu terjadi tahun 1923.” aku ternganga mendengarnya. jadi, ini artinya aku kembali ke masa lalu. ini sangat tidak masuk akal untukku yang saat itu masih tujuh tahun. “semi, jangan sering-sering ke sini,” wajah haru berubah sendu. “apalagi mencoba memberi tahu orang lain tentang tempat ini.” “kenapa?” “kamu nggak akan tahu kapan portal itu tertutup dan hilang. akan bagus jika hilang saat kamu berada di duniamu. tapi saat kamu di sini? itu bukan hal baik. kamu hidup di tahun 2000-an. itu artinya kamu dari masa depan. dan kamu bisa terjebak di masa lalu denganku di sini. bagaimana dengan sekolahmu nanti? bagaimana dengan ayah ibumu? pikirkan itu dan tinggalkan aku ... “kamu berbeda dengan kami di sini, sem. lihat penampilanmu, kamu jauh lebih keren daripada aku. dulu, aku juga sekolah. tapi, seragamku tidak sebagus kamu. aku juga tidak menulis dan menggambar di atas kertas seperti yang kamu genggam,” haru menundukkan kepalanya. “aku senang bisa berkenalan denganmu, tapi ....” kumasukkan buku-bukuku ke dalam tas dengan cepat. lalu segera kutinggalkan tempat itu. tak peduli dengan air mataku yang merembes keluar. aku lari dengan terisak. ucapan haru membuatku sedih bukan main. kutarik ujung baju mama sambil menangis. mama baru pulang dari pasar dan sibuk memindahkan sayur-mayur ke dalam kulkas. “mama, ayo pulang,” rengekku. “pulang ke rumah kita yang dulu.” dan akhirnya, dengan segala pertimbangan kami pun pindah dari sana. aku yang waktu itu berusia tujuh tahun, begitu memaksakan kehendak dengan mengancam tidak akan makan dan minum yang berujung aku jatuh sakit selama berhari-hari. saat itu aku hanyalah anak kecil bodoh yang takut kehilangan teman satu-satunya. yang kutahu saat itu adalah, haru tidak mau lagi bertemu denganku. aku benci haru. _ di usiaku yang makin bertambah, aku mulai mengerti beberapa hal tentang haru. dia tinggal di sebuah negara yang sangat jauh dariku tepatnya di jepang. haru bisa memahami bahasaku dan bisa berbicara bahasaku. dia hidup di zaman yang sangat jauh dariku. gempa yang dia ceritakan padaku dulu, sungguhan terjadi di jepang tepatnya 1 september tahun 1923. haru yang malang itu hanyalah bocah biasa yang kehilangan semua keluarganya akibat bencana gempa bumi dan tsunami. dia hidup sebatang kara sejak gempa itu dan memperoleh makanan dari belas kasihan orang-orang. satu hal yang pasti, aku tidak benar-benar membenci haru, justru sekarang aku sangat merindukannya. dua belas tahun lamanya membuatku jadi rindu anak tengil itu. jika dia masih hidup sampai sekarang, pasti haru sudah sangat tua dan keriput. aku tertawa dan miris membayangkannya. sehingga pada hari ini kuputuskan untuk ke rumah lamaku sendirian. tanpa sepengetahuan mama dan papa tentunya. aku sudah siap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi. aku juga sudah meninggalkan sepucuk surat jika aku tak kembali. bus yang aku tumpangi sudah tiba pada tujuanku. telapak tanganku tiba-tiba terasa dingin. aku sungguh gugup saat ini. rumahnya masih tampak sama. bercat hijau lumut dan bunga-bunga di halaman juga masih tampak segar. apa air terjun dua belas tahun lalu itu juga masih ada? dengan gugup, kubuka pintu rumah dan terus berjalan menuju dapur. sampailah aku di depan pintu belakang yang akan langsung menampakkan air terjun itu. kuharap aku masih bisa bertemu haru. benar. aku masih bisa bertemu haru karena air terjunnya masih di sana. airnya masih sama jernihnya seperti sepuluh tahun lalu. ikan-ikan kecil itu seolah menyapaku yang mulai melangkahkan kaki ke dalam sungai. aliran air yang dingin mulai menyapa wajahku. tapi begitu aku keluar dari akar pohon, tubuhku mendadak kering seketika. kuedarkan pandangan ke sekeliling dan kudapati banyak sekali perbedaan di tempat ini. pohon wisteria ini memang masih sama, tapi tidak dengan bangunan-bangunan baru dan jumlah penduduk yang bertambah banyak. haru? kemana dia? sudahkah dia pindah dari tempat ini? aku tidak tahu di mana haru berada dan tidak berniat mencarinya. jepang itu luas. dia bisa ada di mana saja. aku juga tidak ingin tampak mencolok di antara penduduk di sini. jadi, kuputuskan untuk duduk di bawah pohon dan mengambil beberapa gambar dengan ponselku. saat aku kembali nanti, mungkin bisa kutunjukkan foto-foto ini pada damar. iya, damar mengikutiku dan satu sekolah denganku di sekolah menengah atas di kota. damar bilang, dia menyukaiku. tentu aku tidak balik menyukainya. secuil hatiku masih tertinggal di tempat ini. “hei,” suara berat khas remaja laki-laki yang puber mengagetkanku. “siapa bilang kamu boleh mengambil gambar seenaknya di sini dengan benda gepeng itu?” haru. benar dia. dia datang. “haru ... ini sungguhan kamu? kamu tampak ....” “ganteng.” seketika aku ingin menyeburkan diri ke dalam kolam bekas mujair kakek. aku merasa seperti upik abu yang bertemu pangeran. manusia di depanku ini sungguhan anak tengil berdebu itu? “dalam bahasaku, ganteng itu hansamu. jangan heran bagaimana aku bisa bahasamu. aku ini anak cerdas yang menguasai beberapa bahasa,” haru masih songong seperti yang dulu. “ternyata kamu masih mengingatku, sem. kupikir kamu marah dan nggak berniat balik ke sini.” “bagaimana mungkin aku melupakanmu, hah? kamu teman pertamaku.” akuku yang mulai kehabisan kata. setelahnya, kami ngobrol dan sesekali tertawa bersama sambil mengelilingi ladang bunga nanohana. tak kusangka ucapan haru dahulu sungguhan terjadi. akar di pohon wisteria itu menutup perlahan dan aku yang masih bersama haru. jika bertemu haru kusebut takdir, pantaskah terjebaknya aku di sini juga kusebut takdir?.(*)
1
2
3
4
»
Last
Tag
# luluk rohmatul ulya
# air terjun
# cerita pendek
# cerpen
# sastra milik siswa
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Koran Radar Lampung Minggu 05 Mei 2024
Berita Terkini
Pemkot Bandar Lampung Perbaiki Trotoar untuk Aksesibilitas Penyandang Disabilitas
Metropolis
26 menit
Dewan Desak Perusahaan Bertanggung Jawab Penuh atas Kecelakaan Kerja yang Menewaskan Karyawan
Metropolis
29 menit
Jalan Sandi Hasan di Bandar Lampung Belum Terima Perbaikan dari Pemkot
Metropolis
30 menit
Mau Jadi Sales Marketing Tiki? Segera Masukkan Lamaran!
Bursa Kerja
1 jam
Umitra Butuh Tiga Staf Marketing
Bursa Kerja
1 jam
Berita Terpopuler
Dewan Desak Perusahaan Bertanggung Jawab Penuh atas Kecelakaan Kerja yang Menewaskan Karyawan
Metropolis
29 menit
Umitra Butuh Tiga Staf Marketing
Bursa Kerja
1 jam
Hunian Eklektik Perpaduan Empat Style dengan Warna Berani
Arsitektur
20 jam
Ikuti Internasional Young Leader and Business, 10 E-Muda SMe Al-Karim Lampung Magang di USIM Malaysia
Pendidikan
3 jam
Menakar Dampak Pemutihan Kredit Macet Petani dan Nelayan
Berita Utama
1 jam
Berita Pilihan
Bertualang Sambil Healing ke Air Terjun Batu Putu
Wisata dan Kuliner
1 hari
Update Rangking Timnas Indonesia, Skuad Garuda Naik ke Peringkat 125 FIFA Setelah Kalahkan Arab Saudi
Olahraga
1 hari
Cegah Pegal Saat Bekerja di Kantor, Lakukan 10 Langkah Ini!
Kesehatan
2 hari
Konsumsi 8 Jenis Makanan Ini, Perut Buncit Dijamin Hilang
Kesehatan
2 hari
Ingin Tubuh Sehat? Konsumsi 10 Makanan Musuh Kolesterol Jahat Ini
Kesehatan
2 hari