TikTok Shop Kembali Disorot, Peneliti UGM Sebut Aturan Social Commerce Masih Abu-Abu
MASIH JADI SOROTAN: Peneliti CFDS UGM menilai peraturan pemerintah mengenai social commerce seperti untuk TikTok Shop masih belum tegas. -Foto Salman Toyibi/Jawa Pos -
JAKARTA - Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai peraturan pemerintah mengenai social commerce seperti untuk TikTok Shop masih belum tegas. Ketidaktegasan itu masih membuat celah keamanan siber pengguna ketika bertransaksi di social commerce dan tidak seaman saat pengguna bertransaksi di e-commerce.
Kedatangan TikTok Shop sebagai fitur layanan transaksi jual-beli dalam aplikasi media sosial TikTok membuat pusing pemerintah. Walaupun sudah menerbitkan regulasi dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), namun nyatanya aturan itu masih terindikasi dilanggar oleh TikTok Shop.
Research Coordinator CFDS UGM Muhammad Perdana Sasmita-Jati Karim melihat pentingnya pemerintah membuat aturan yang tegas dan komprehensif mengenai social commerce demi menjamin keamanan dalam bertransaksi. Aturan yang ada masih dianggap belum mewadahi hal tersebut.
BACA JUGA:Inflasi Lampung Utara 2023 Ditutup 2,0 Persen , Cabai Jadi Penyumbang
"Menurut kami, sebenarnya konsep social commerce di Indonesia ini masih sangat kurang terkait aturan, baik ke arah pelaku (UMKM) maupun ke arah konsumen," kata Karim.
Ia melihat aturan yang diterbitkan oleh pemerintah, masih berada di wilayah 'abu-abu' atau masih belum tegas. Sehingga, social commerce memiliki risiko keamanan yang lebih tinggi ketimbang e-commerce. Karena dalam praktik di social commerce, hubungan antara pembeli dan penjual dilakukan tanpa ada platform sebagai buffer.
"Mekanisme TikTok Shop atau TikTok Live hanya berperan sebagai media untuk mempromosikan atau mengiklankan produk dari penjual kepada konsumen," tambah Karim. Hal itu, yang menjadi pembeda ketika user bertransaksi di e-commerce. Sebab, di e-commerce perlindungan bagi penjual atau konsumen dinilai lebih terjamin karena memiliki sistem keamanan yang lebih canggih.
BACA JUGA:Reduksi Emisi Karbon Lewat Pengumpulan Sampah Plastik
"Tetapi mekanisme jual belinya sendiri pun tidak seaman dan nyaman platform e-commerce yang memang tujuannya adalah untuk jual-beli produk, sehingga mekanisme pelindungan penjual atau konsumen lebih dipikirkan oleh mereka," kata Karim.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki menyebut TikTok Shop masih melanggar peraturan setelah kembali beroperasi. Teten mengatakan e-commerce bagian dari aplikasi TikTok itu melanggar Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
TikTok Shop masih beroperasi dengan cara yang sama sebelum dilarang beroperasi, di mana transaksinya masih berada di platform itu sendiri. Padahal dalam Permendag 31/2023, media sosial dan e-commerce tidak boleh digabung.
"TikTok sudah mengambilalih Tokopedia dengan investasi. Pertanyaannya adalah apakah sudah dipenuhi Permendag 31 itu. Ini yang sedang kita bahas," katanya dalam konferensi pers di Gedung Smesco, Jakarta. (jpc/c1/nca)