BANDARLAMPUNG - Disahkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah beserta Juknisnya tentu modernisasi hukum pertanahan akan ada benang merah dengan tanggungannya.
Sehingga diperlukan adaptasi menerapkan proses bisnis lelang yang baru bagi seluruh subjek lelang, dalam hal ini pejabat, pemohon lelang, peserta lelang, dan pemenang lelang.
Akademisi Universitas Lampung (Unila) F.X. Sumarja menyampaikan empat kerangka acuan dalam perspektif hukum pertanahan implementasi terhadap proses bisnis lelang di era digital.
Mulai dari penerbitan SKPT (surat keterangan pendaftaran tanah), proses balik nama objek lelang, blokir sertifikat, dan sertifikat elektronik.
Pertama, terkait permasalahan SKPT. Sumarja menjelaskan SKPT merupakan dokumen penting dalam proses lelang dan wajib dipenuhi oleh pemohon lelang/penjual sebelum pelaksanaan lelang.
BACA JUGA:Memaknai Data dalam Pertarungan Pilkada
Permasalah pada penggunaan SKPT ini mulai dari masa berlaku terbatas, perlu perpanjangan SKPT, dapat menyebabkan batal lelang, juga penerbitan SKPT tidak tepat waktu.
Dasar hukum dari SKPT adalah layanan pertanahan yang bersifat informatif berupa surat keterangan yang memuat data pemilik tanah, letak tanah, luas tanah dan catatan-catatan lainnya terkait dengan layanan pertanahan.
“Catatan ini karena berkaitan dengan lelang berarti itu ada catatan tentang pembebanan hak tanggungan. Biasanya untuk lelang eksekusi, kalau lelang sukarela tidak perlu dibebani hak tanggungan bisa di lelang,’ ujar Sumarja.
BACA JUGA:Perspektif Hukum Pertanahan, Bisnis Lelang di Era Digital
Syarat penerbitan SKPT, formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya; surat kuasa apabila dikuasakan; fotocopy identitas pemohon (KTP) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket; bukti hubungan hukum antara subjek dan objek hak.
Kata Sumarja, mekanisme pendaftaran SKPT mulai pendaftaran melalui loket kantor pertanahan atau melalui akun Mitra ATR/BPN (PPAT); penerbitan surat perintah setor; pembayaran PNBP melalui Bank, ATM atau internet banking; verifikasi data; unduh hasil layanan produk (file pdf).
“Jangka waktu penyelesaian SKPT ini sesuai aturan cukup empat hari kerja dengan biaya/tarif Rp 50 ribu,” tuturnya.
Disampaikan Sumarji, jika mengacu PermenATR/KBPN No. 5 Tahun 2017 SKPT hanya berlaku tujuh 7 hari kalender atau sangat terbatas.
Telah dengan PermenATR/KBPN No. 19 Tahun 2020 sudah dengan tegas bahwa SKPT Ini berlakunya sampai dengan selesainya proses lelang atau tidak ada batasan.